Indonesia menghadapi tantangan besar dalam pencapaian literasi, dengan konsisten berada di peringkat 10 terbawah dalam penilaian internasional selama dua dekade terakhir. Situasi ini sangat memprihatinkan.

Menurut perkiraan Bank Dunia, 53 persen siswa Indonesia tidak mampu membaca teks sederhana dengan pemahaman pada usia 10 tahun, atau sekitar 13 juta anak sekolah dasar. Pandemi telah memperburuk masalah ini, dengan studi berskala besar oleh INOVASI menemukan bahwa siswi perempuan kehilangan setara dengan enam bulan kemampuan literasi dan empat bulan bagi siswa laki-laki.

Apa yang menyebabkan krisis ini sejak awal? Solusi apa yang telah dicoba dan apakah berhasil? Bisakah kecerdasan buatan (AI) mengatasi krisis pembelajaran ini?

Solusi yang ada saat ini menunjukkan masalah pada kompetensi guru. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi dampak negatif COVID-19 terhadap pendidikan. Mereka mendorong pembelajaran yang berbeda, sering disebut sebagai pengajaran pada tingkat yang tepat (TaRL), sebuah pendekatan yang mengelompokkan siswa berdasarkan kompetensinya dan menggunakan aktivitas interaktif untuk mempercepat pembelajaran.

Untuk menyebarluaskan pembelajaran berbeda secara luas, kementerian meluncurkan Merdeka Mengajar, sebuah platform online bagi guru untuk mengakses referensi dan praktik terbaik. Mereka juga mengidentifikasi dan melatih guru penggerak sebagai pemimpin instruksional, membentuk komunitas pengembangan profesional dan memperkuat hubungan dengan orang tua dan komunitas. Kementerian juga mengidentifikasi sekolah penggerak dan melatih pendidik di sekolah-sekolah tersebut untuk mendukung sekolah lain dalam melaksanakan reformasi.

Namun, meskipun reformasi ini secara teoritis memungkinkan guru mengadopsi pembelajaran berbeda, implementasi praktisnya dalam skala besar tetap menjadi tantangan. Hingga akhir tahun ini, program Guru Penggerak dan Sekolah Penggerak akan mencapai, paling baik, hanya sekitar 5 persen dari 4 juta guru di seluruh negeri. Sisanya harus mengandalkan platform Merdeka Mengajar.

Dalam situasi ini, kecerdasan buatan (AI) menawarkan harapan baru. AI memiliki potensi untuk memberikan pembelajaran yang lebih personal dan adaptif, yang dapat membantu mengatasi berbagai tingkat kemampuan di kelas. Dengan bantuan teknologi AI, konten pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan individu setiap siswa, memberikan latihan dan umpan balik secara real-time.

Namun, penerapan AI dalam pendidikan di Indonesia juga menghadapi tantangan tersendiri. Infrastruktur teknologi yang tidak merata, keterbatasan akses internet, serta kesiapan guru dan siswa dalam menggunakan teknologi menjadi beberapa hambatan yang harus diatasi. Kerjasama antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sangat penting untuk mengatasi hambatan-hambatan ini dan memastikan bahwa teknologi AI dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

Masa depan pendidikan Indonesia akan sangat bergantung pada kemampuan untuk beradaptasi dan mengadopsi inovasi baru, termasuk kecerdasan buatan. Dengan komitmen dan usaha bersama, ada harapan bahwa krisis pembelajaran ini dapat diatasi dan kualitas pendidikan di Indonesia dapat ditingkatkan.