Warga Jabodetabek Tolak Bicara Soal Kenaikan Harga Tiket KRL dan Subsidi Pertalit NIK, Ini Alasannya

Kamis, 31 Oktober 2024 – 22:46 WIB

Jakarta – Rencana pemerintah menaikkan harga tiket Kereta Api Listrik (KRL) berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK), membatasi subsidi BBM Pertalit, dan menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) hingga 12% menuai penolakan mayoritas. masyarakat Jabodetabek.

Baca juga:

Pilihan Khofifa unik, Pengamat: Presiden saat ini berpeluang menang di Pilgub

Berdasarkan survei KedaiKOPI terhadap 1.100 responden di Jabodetabek, mayoritas masyarakat menilai kebijakan ini akan menambah beban ekonomi mereka yang sudah berat akibat kenaikan harga kebutuhan pokok.

Direktur Riset dan Komunikasi KedaiKOPI Ibnu Dwi Kahya mengungkapkan, hasil survei menunjukkan 78,5% responden menolak gagasan pengaturan tiket KRL berbasis NIK.

Baca juga:

Survei, Supian-Chandra unggul dari petahana di Pilkada Depok 2024

Alasan utama penolakan ini adalah kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap efektivitas kebijakan berdasarkan pendataan NIK untuk keperluan subsidi, kata Ibnu dalam keterangan yang diperoleh VIVA.co.id.

Ia menambahkan, banyak yang khawatir kebijakan tersebut justru akan mempersulit pelayanan di gerbang stasiun dan meningkatkan risiko penyalahgunaan informasi pribadi.

Baca juga:

Pilihannya sedikit berbeda dengan Pram-Rano, Ridwan Kamil: Bertanya tidak menentukan takdir

Selain itu, hanya 20,6% responden yang menilai pengaturan tarif KRL berbasis NIK akan berhasil mencapai tujuan.

Selain soal harga tiket KRL, survei ini juga mengungkap keberatan masyarakat terhadap pembatasan subsidi yang dilakukan Pertalite. Sekitar 55,6% responden menyatakan penolakannya.

“Masyarakat berpandangan bahwa subsidi BBM bagi masyarakat berpendapatan rendah harus tetap dipertahankan mengingat besarnya ketergantungan mereka terhadap BBM bersubsidi,” kata Ibnu.

Masyarakat khawatir kebijakan ini akan menaikkan harga Pertalit yang pada akhirnya akan menaikkan harga kebutuhan pokok lainnya.

58,6% responden menilai kebijakan ini tidak tepat dan dapat menyulitkan mereka yang memang membutuhkan subsidi. Banyak di antara mereka yang menyoroti ketidakakuratan sistem pendataan penerima bantuan kesejahteraan, yang masih dalam kondisi buruk dan memerlukan perbaikan besar-besaran agar tidak merugikan masyarakat berpenghasilan rendah.

Rencana kenaikan pajak pertambahan nilai dari 11 menjadi 12 persen juga menambah ketidakpuasan masyarakat. Hingga 83,2%

Narasumber yang diwawancarai keberatan dengan kebijakan ini karena dampaknya meningkatkan tekanan perekonomian dan berdampak pada hampir seluruh aspek kehidupan.

“Isu kenaikan pajak pertambahan nilai menjadi perhatian khusus masyarakat, apalagi dampaknya tidak terbatas pada satu sektor saja, melainkan mencakup berbagai aspek kehidupan,” kata Ibnu.

Menanggapi hasil survei tersebut, Ibnu menambahkan, pemerintah harus mempertimbangkan pendekatan politik yang lebih partisipatif.

Pemerintah harus mempertimbangkan dampak sosial dari kenaikan pajak dalam konteks kenaikan biaya bahan bakar dan transportasi.

“Kebijakan ekonomi yang memenuhi kebutuhan dasar seperti bahan bakar dan transportasi harus mempertimbangkan daya beli masyarakat, terutama masyarakat menengah ke bawah yang paling terkena dampaknya,” kata Ibnu Dwi Kahya.

Halaman berikutnya

Sumber: istimewa



Sumber