Produk dan arak tuak bersertifikat halal, MUI: Kami tidak bertanggung jawab

Rabu, 2 Oktober 2024 – 01:21 WIB

Jakarta, VIVA – Majelis Ulama Indonesia (MUI) mulai melakukan pemungutan suara setelah menemukan produk makanan dengan nama tuyil, tuak, bir, dan tuak yang telah mendapat sertifikat halal BPJPH.

Baca juga:

Apa itu investasi syariah? Temukan fitur dan manfaatnya!

Ketua Fatwa MUI Asrorun Niyam Sholeh mengatakan, sejak kabar tersebut tersebar di media sosial, pihaknya langsung mengkonfirmasi, menjelaskan, dan menyelidiki.

Dari hasil pemeriksaan diketahui informasi transaksi benar, produk terpampang jelas di website BPJPH.

Baca juga:

Dari Jeddah, Menteri Agama Ges Men berangkat ke Italia

Di pelukan! Produk bernama Tuak dan Wine mendapat sertifikasi Halal dari Kementerian Agama

Sejumlah produk tersebut telah mendapat sertifikat halal dari BPJPH melalui jalur ini, kata Niam Diri sendiri mengumumkanatau tanpa pemeriksaan oleh Badan Pengawas Halal dan tanpa penetapan halal oleh Komisi Fatwa MUI.

Baca juga:

Hasil Seleksi Administrasi CPNS Kemenag 2024: Lulus 319.255 Pelamar

“Sertifikasi halal tersebut melanggar standar fatwa MUI dan tidak lolos Komisi Fatwa MUI. Oleh karena itu, MUI tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan produk tersebut,” kata Asrorun Niam. Situs resmi MUI Rabu, 2 Oktober 2024.

Selanjutnya, kata Niamh, MUI akan berkoordinasi dengan BPJPH, Kementerian Agama (Kemenag) untuk mencari solusi agar kejadian serupa tidak terulang kembali.

“Saya berkomunikasi dengan teman-teman di Kementerian Agama,” ujarnya.

Setelah sempat menjadi sorotan, Nian mengatakan kini nama-nama produk tersebut tidak lagi muncul di aplikasi BPJPH.

Ia menegaskan, penetapan status kehalalan suatu produk harus dilakukan sesuai standar halal yang ditetapkan MUI.

Ia sangat menyayangkan pemberian sertifikasi halal pada produk tersebut tidak melalui MUI dan melanggar fatwa MUI tentang standar halal.

Berdasarkan Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 tentang Standardisasi Halal, ada empat kriteria penggunaan nama dan bahan. Antara lain, tidak diperbolehkan menggunakan nama dan/atau simbol makanan dan/atau minuman yang mengarah pada penistaan ​​dan kebohongan.

“Dalam pedoman standar MUI, tidak mungkin menentukan kehalalan suatu produk dengan nama yang berkaitan dengan produk haram, termasuk berdasarkan rasa, aroma, dan kemasannya. Apalagi produk dengan nama yang lazim dikenal sebagai jenis minuman yang mungkin memabukkan, ” dia dikatakan.

Halaman berikutnya

“Saya berkomunikasi dengan teman-teman di Kementerian Agama,” ujarnya.

Halaman berikutnya



Sumber