Selasa, 1 Oktober 2024 – 17:00 WIB
Jakarta, VIVA – Modernisasi Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) Tiongkok yang pesat telah menimbulkan kekhawatiran di seluruh Asia Tenggara, khususnya di Indonesia, karena potensi dampaknya terhadap stabilitas regional, khususnya di Laut Cina Selatan (LCS).
Baca juga:
Dibuka di Zona Merah, IHSG berpotensi rebound seiring menguatnya saham-saham Asia Pasifik
Kekuatan militer Tiongkok yang semakin besar, ditambah dengan sikapnya yang semakin anti-Barat, telah memicu kekhawatiran bahwa SDF dapat menjadi sumber konflik di masa depan.
Dalam diskusi publik yang diselenggarakan Forum Sinologi Indonesia (FSI) dan Paramadina Public Policy Institute (PPPI) di Jakarta pada 30 September 2024, para ahli membahas implikasi perkembangan militer Tiongkok.
Baca juga:
Tentara Tiongkok dalam siaga tinggi, inilah alasannya
Johannes Herlijanto, Presiden FSI, menekankan pentingnya perkembangan ini bagi Indonesia, dan menyatakan bahwa “Xi Jinping telah mempercepat tujuan modernisasi militer dari tahun 2035 hingga 2027, menjadikannya isu penting yang harus menjadi fokus Indonesia.”
Baca juga:
AS mengetahui tenggelamnya kapal selam nuklir Tiongkok
Brigadir Jenderal (Purn) Victor P. Tobing menegaskan, transformasi militer Tiongkok tidak terjadi dalam semalam. “Ide modernisasi militer sudah ada sejak era Deng Xiaoping pada tahun 1978, namun perubahan signifikan telah terjadi sejak Xi Jinping berkuasa pada tahun 2012,” ujarnya.
Tobing juga menunjuk pada meningkatnya kehadiran militer Tiongkok di luar negeri, termasuk pendirian pangkalan di Djibouti, Afrika, dan meningkatnya dominasi Tiongkok di Laut Cina Selatan, yang didukung oleh tiga kapal induk.
Aisha Rasidila Kusumasomantri, direktur intelijen strategis Indo-Pasifik, menyoroti pesatnya pertumbuhan militer Tiongkok, terutama kekuatan angkatan lautnya.
“Tiongkok kini memiliki angkatan laut yang sangat besar dengan sekitar 370 kapal yang didukung oleh teknologi canggih termasuk AI dan operasi multidisiplin,” ujarnya.
Kusumasomantri juga menyoroti potensi tantangan bagi negara-negara Asia Tenggara ketika Tiongkok terus menegakkan klaim teritorialnya yang disengketakan di LCS.
Peni Hanggarini, pakar strategi pertahanan, terus menekankan postur militer Tiongkok yang kuat, yang berasal dari persaingannya dengan Amerika Serikat.
Meskipun Indonesia tidak terlibat langsung dalam sengketa wilayah di SADC, para ahli sepakat bahwa negara ini perlu memperkuat diplomasi pertahanan dan anggaran untuk melindungi kepentingannya di tengah meningkatnya ketegangan regional.
Halaman berikutnya
Aisha Rasidila Kusumasomantri, direktur intelijen strategis Indo-Pasifik, menyoroti pesatnya pertumbuhan militer Tiongkok, terutama kekuatan angkatan lautnya.