Bekerja sama dengan Pertamina Rawat Alam, Ekowisata Sungai Hitam menjadi kawasan incaran wisatawan

Kalimantan Timur, VIVA – Bekantan atau monyet berhidung besar (Nasalis larvatus) merupakan primata endemik yang ditemukan di Kalimantan, Indonesia.

Baca juga:

KHMC bentukan Pertamina berhasil menggalang dana sebesar Rp 1 miliar di Pertamina Grand Prix Indonesia

Mereka dikenal karena hidungnya yang besar dan perutnya yang buncit dan merupakan perenang yang hebat. Bekantan hidup di hutan bakau dan rawa-rawa dan umumnya memakan dedaunan, buah-buahan, dan biji-bijian. Saat ini bekantan terancam punah akibat hilangnya habitat dan perburuan, sehingga upaya konservasi terhadap spesies ini sangat penting.

Sekelompok bekantan bertengger di pohon dekat Sungai Hitam Kalimantan Timur (Dr.: Natania Longdong)

Foto:

  • VIVA.co.id/Natania Longdong

Baca juga:

Komentar Pertamina soal penurunan harga BBM Seri Pertamax mulai 1 Oktober

Seperti di Ekowisata Sungai Hitam Kalimantan Timur. Berawal dari keprihatinan seorang pria bernama Adil Amin, wisata di Sungai Hitam yang juga menjadi rumah bagi bekantan kini bisa tetap terjaga dengan baik.

Sembari menjelajahi Sungai Hitam, airnya yang jernih dan suasananya yang asri menyambut wisatawan.

Baca juga:

Compact Down adalah daftar harga BBM Pertamina, Shell, BP dan Vivo per 1 Oktober 2024.

Aidil, selaku Ketua Kelompok Sadar Wisata (Kopdarvis), mengatakan, sebelumnya sungai dan hutan bakau di kawasan ini kurang terawat.

Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap perlindungan lingkungan menyebabkan air sungai tercemar oleh kotoran manusia dan limbah rumah tangga.

Kecemasan inilah yang kemudian membuat Adil mengambil langkah untuk menjangkau masyarakat setempat. Ia yakin, situs tersebut bisa menjadi destinasi wisata jika dikelola dengan baik.

“Ekowisata Lestari Black River sebenarnya sudah ada sejak lama. Namun saat pertama kali didirikan masih banyak kekurangan dan kelemahannya. Oleh karena itu, sebagai ketua, ketua Kopdarwis, saya memikirkan bagaimana pariwisata perlu dilakukan. didorong. Ekowisata Sungai Hitam Lestar semakin populer,” kata pria yang kerap disapa “Pak Aidil” ini kepada wartawan, Selasa, 1 Oktober 2024.

Aidil berharap tempatnya bisa dikenal wisatawan dalam dan luar negeri, sehingga perekonomian kawasan Sambocha semakin maju.

“Saat saya dorong (ide) ini dan alhamdulillah saya masih ingat masa-masa itu, saya masih menjabat sebagai Kepala Republik Tajikistan, saya sedih melihat suasana di sini, sedih sekali. Ketika ada tamu asing yang berkunjung ke tempat ini datang ke sini. , itu sudah terkenal di mancanegara, yang tinggal jalan setapak untuk mencapai dermaga,” ujarnya sambil mengenang ekowisata Sungai Hitam.

Dari kegelisahannya muncul ide destinasi wisata Bekantan.

“Saya berpikir, bagus sekali ini, bagaimana saya bisa, sebagai ketua RT di sini, saya harus mencoba ini, saya bisa ambil, saya bisa lihat, saya bisa melakukan ekowisata. Dan saya juga berpikir, di sini ada yang hewan endemik kalimantan yang hanya ada di kalimantan sudah tidak ada lagi, yaitu bekantan sudah tidak ada lagi,- ujarnya penuh minat.

Ketika masyarakat khususnya pengunjung melihat bekantan, maka hal tersebut menambah nilai tambah bagi kawasan tersebut, khususnya masyarakat Kampung Lama.

Tidak sampai disitu, bila niat baik tersebut tidak dibarengi dengan beberapa masalah, rasanya kurang “bumbu”.

Pak Adil mengaku mengalami kesulitan dengan beberapa warga yang masih “menangis” dan melakukan perambahan hutan.

“Ini (panggilan) terus. Tapi alhamdulillah, mungkin Tuhan juga membantu saya, jadi saya pikir ya, alhamdulillah, dengan (ide) ini masyarakat menjadi sadar,” ujarnya.

Berawal dari Kampung Lama, saat itu Aidil berharap hal serupa bisa dilakukan oleh desa lain, yakni menjaga kelestarian Sungai Hitam dan kawasan mangrove yang ada di kawasan tersebut.

Tujuannya tidak jauh untuk menyediakan lingkungan yang baik bagi spesies Bekantan dan hewan lain yang hidup di hutan bakau.

“Alhamdulillah sekarang kesadaran masyarakat Kuala (Samboja) meningkat, terima kasih banyak. Saya pernah cerita soal sampah di Kuala, tapi alhamdulillah (sampah) berkurang dari 100 persen, sekarang mungkin. Hanya sekitar 25 persen,” ujarnya.

Setelah berjalan selama 5 tahun, ekowisata Sungai Hitam dan hutan bakau kini semakin dikenal wisatawan lokal maupun mancanegara.

Pak Adil bahkan kaget saat mengetahui jumlah wisatawan yang berkunjung ke Sungai Hitam lebih banyak dibandingkan “wisatawan” Eropa.

Bahkan, total pendapatan dari ekowisata bisa mencapai Rp 60 juta per tahun.

“Sekitar 60 persen pengunjungnya mayoritas wisman. Kebanyakan dari Eropa,” jelasnya.

Aktifitas objek wisata yang terkenal dengan urinoir monyet ini juga tidak lepas dari peran PT Pertamina EP SangaSanga Field yang mendukung melalui pelatihan, perbaikan tempat parkir, dan food court.

Pertamina juga menyumbangkan 4 unit IPAL terapung yang tersebar di beberapa titik di dua komunitas.

Diketahui bahwa sistem pengolahan air limbah terapung merupakan sistem pengolahan air limbah yang dirancang untuk bekerja di tempat yang sulit diakses atau di daerah dengan permukaan air yang tinggi, seperti sungai atau rawa.

Sistem ini biasanya terdiri dari bangunan terapung dan dilengkapi dengan teknologi pengolahan air limbah, sehingga tidak mencemari lingkungan.

Tempat pembuangan sampah terapung sering digunakan di wilayah pesisir atau masyarakat terpencil sebagai solusi pengelolaan sampah yang efisien dan berkelanjutan.

Bekerja sama dengan Pertamina Rawat Alam, Ekowisata Sungai Hitam menjadi kawasan incaran wisatawan

Sekelompok bekantan bertengger di pohon dekat Sungai Hitam Kalimantan Timur (Dr.: Natania Longdong)

Foto:

  • VIVA.co.id/Natania Longdong

Jika biasanya masyarakat mengutarakan “keinginannya” langsung ke sungai, kini dengan adanya septic tank terapung, kotoran manusia bisa diolah dengan baik sebelum dibuang ke sungai untuk mencegah pencemaran lingkungan.

“Saya benar-benar kontributor dan saya sangat berterima kasih kepada Pertamina EP (SangaSanga) atas bantuannya, kontribusi tersebut tidak bisa dibayar dengan uang karena penyaluran (IPAL) dari Pertamina EP sangat luar biasa.”

Sebagai pemimpin dalam bidang kesadaran lingkungan, Adil juga berterima kasih atas pelatihan menerima wisatawan dan belajar bahasa Inggris.

“Sekarang kita berani turun sendiri, kalau ada pengunjung asing yang tidak punya pemandu, makanya kita harus turun sendiri,” imbuhnya.

“Jadi ibu-ibu juga (manfaat). Alhamdulillah kami diberi semacam pengalaman (mengajar) dan bagaimana memanfaatkan alam. Kami punya taman-taman yang bisa kami manfaatkan, misalnya kebun manisan, atau pohon palem, dan sebagainya.”

Halaman berikutnya

Sumber: Panoramio

Halaman berikutnya



Sumber