Soal pertemuan Megawati-Prabovo, pengamat: Lebih banyak kerugiannya daripada manfaatnya

Minggu, 15 September 2024 – 19:03 WIB

Jakarta, VIVA – Pendiri Haidar Alvi Institute (HAI), R Haidar Alvi yang juga Wakil Ketua Dewan Pembina Ikatan Alumni ITB menyoroti perbincangan soal pertemuan Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.

Baca juga:

Ridwan Kamil luncurkan Program Kepercayaan Prabowo untuk Jakarta

Haidar Alvi menilai pertemuan dua tokoh ini tidak ada gunanya secara politik. Jika PDI Perzangan tidak bergabung dengan pemerintahan Prabowo-Gibran.

Memang kerugiannya lebih besar daripada manfaatnya karena tidak ada lagi parpol yang menguasai kekuasaan jika PDIP bergabung dengan pemerintahan Prabowo-Gibran, kata Haider Alvi, Minggu, 15 September 2024.

Baca juga:

Jokowi menargetkan tol Balikpapan-IKN selesai pada pertengahan tahun 2025

Menurutnya, jika hal itu terjadi tentu tidak mudah dan gratis. Ada harga yang harus dibayar, misalnya sejumlah kursi menteri untuk PDI Perjungan.

Baca juga:

Situs Gerindra.org mengajukan pengaduan ke polisi karena diduga berupaya melawan Jokowi-Prabovo

Apalagi, PDI Perjuangan merupakan partai dengan perolehan kursi terbanyak di DPR dan satu-satunya partai yang tidak tergabung dalam koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran.

“Dengan kondisi seperti ini, posisi tawar PDIP lebih tinggi. Apalagi PDIP tahu bahwa Prabowo tidak mau ada oposisi. Oleh karena itu, PDIP pasti akan dijual,” jelas Haydar Alvi.

Lebih lanjut, meski hubungan antara Prabowo dan Megawati sangat baik, namun ada beberapa faktor yang membuat PDI Perjuangan sulit bergabung dengan pemerintahan Prabowo-Gibran.

Pertama, faktor sejarah. Orde Lama dan Orde Baru. Soekarno dengan Soeharto. Dan kita tahu Titiek Soeharto bersama Prabowo, kata Haidar Alvi.

Haider Alvi menilai orde baru merupakan mimpi buruk dan kenangan kelam yang membekas kuat di ingatan Megawati. Baik di awal masa Soeharto menggantikan Sukarno, hingga terakhir saat Megawati berperan dalam reformasi keruntuhan orde baru.

Kedua, faktor SBI, lanjut Haidar Alvi.

Ia melihat Megawati masih belum bisa menerima kekalahannya dari SBY pada Pilpres 2004. Partai tersebut menang dengan 60,62 persen dan Megawati 39,38 persen.

Dua dekade berlalu, pertemuan Megawati dan SBY bisa dihitung dengan jari. Mereka hanya bertemu di acara-acara resmi itupun hanya sekedar basa-basi.

Faktor Iokov, lanjut Haidar Alvi.

Megawati, Prabowo, dan Puan Maharani baru-baru ini berswafoto. (foto ilustrasi)

Megawati, Prabowo, dan Puan Maharani baru-baru ini berswafoto. (foto ilustrasi)

Foto:

  • Instagram @puanmaharaniri

Dalam pantauannya, PDI Perjuangan mungkin menganggap Jokowi sebagai pengkhianat partai. Mulai dari mendukung Prabowo, mengusung Gibran sebagai calon wakil presiden, hingga memecat Bobby Nasutyun sebagai kader PDI Perjuangan karena terang-terangan mendukung Prabowo-Gibran.

“Bagi Megawati dan PDIP, semua itu mungkin berbau pengkhianatan. Tapi menurut saya, Jokowi benar-benar berupaya untuk melaksanakan salah satu isi perjanjian batu tulis antara Megawati dan Prabowo,” pungkas Haider Alvi.

Halaman selanjutnya

Lebih lanjut, meski hubungan antara Prabowo dan Megawati sangat baik, namun ada beberapa faktor yang membuat PDI Perjuangan sulit bergabung dengan pemerintahan Prabowo-Gibran.

Halaman selanjutnya



Sumber