Kamis, 5 September 2024 – 09:38 WIB
Semarang, VIVA – Keluarga dokter Auliya peserta Program Pelatihan Dokter Spesialis (PPDS) yang diduga bunuh diri karena desakan orang yang lebih tua, resmi melaporkan hal tersebut ke Polda Jateng. Laporan ini disampaikan ibu mendiang Nuzmatun Malina dan adik laki-lakinya, Dr. Nadia bersama tim pemeriksaan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI dan kuasa hukumnya, pada Rabu (4/9/2024).
Baca juga:
Undip: Dokter PPDS Bisa Kerja di RSUP Kariadi 24 Jam, Salahkan Kemenkes Juga!
Dalam laporan tersebut, pihak keluarga melaporkan dugaan penganiayaan, pemerasan, dan ancaman dari beberapa korban lanjut usia. Laporan nomor LP/B/133/IX/2024/Spkt/Polda Jawa Tengah diproses sekitar 8 jam.
“Kami menghabiskan waktu berjam-jam menyiapkan laporan sambil menyajikan bukti. “Kami akan kembali besok (Kamis, 5 September) untuk memberikan informasi lebih lanjut,” kata Misyal Ahmed, perwakilan keluarga almarhum.
Baca juga:
Bukti baru, Kemenkes memeras dr Aulia Rp 20-40 juta per bulan
Sejumlah barang bukti telah diserahkan, antara lain chat WhatsApp, bukti transfer bank, dan dokumen lain yang diduga adanya penganiayaan, pengancaman, dan intimidasi yang dilakukan korban.
Baca juga:
Dean FC Bawah Dalam Dr. Ian Visnu dikeluarkan dari RS Kariadi terkait meninggalnya dr Aulia
“Siapa yang diberitahu? Kami belum menyebutkan nama-namanya. “Yang jelas, laporan ini mengandung ancaman, intimidasi, dan pemerasan,” imbuh Misyal.
Dia menjelaskan, laporan tersebut mencakup beberapa senior yang meninggal, termasuk ketua program pelatihan (Prodi) tempat korban belajar. “Lebih dari satu orang, termasuk seluruh lansia, dilaporkan. – Kami mengeluh kepada mereka tentang sikap dingin dan ketidakpedulian para dosen, – jelasnya.
Menurut pengacara, kelalaian tersebut terjadi saat korban mengeluhkan jam kerja yang sangat panjang, yaitu pukul 03.00 hingga 01.30 keesokan harinya. Keluhan ini sudah disampaikan kepada Ketua Program Diklat sejak tahun 2022, namun belum mendapat tanggapan serius.
“Keluarga sudah beberapa kali melaporkan hal ini sejak tahun 2022, namun belum ada tanggapan dari pihak kampus,” kata Misyal.
Keluarga berharap laporan ini dapat mendorong korban lainnya untuk angkat bicara dan berani melaporkan. Mereka ingin acara ini dapat menginspirasi banyak orang agar dunia pelayanan kesehatan tidak dipenuhi dengan praktik-praktik tidak etis. “Dokter harusnya punya pemikiran yang baik, jangan seperti preman,” tegas Misyal.
Polda Jateng mendapat dua laporan terkait kasus ini, satu dari pihak keluarga dan satu lagi dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Meski terpisah, kedua laporan ini saling berkaitan.
Adik laki-laki almarhum, Dr. Nadia mengatakan, seluruh bukti sudah diserahkan ke polisi dan kini menunggu proses penyidikan. “Semua informasi sudah kami berikan. Tapi tidak ada bukti pelecehan seksual,” ujarnya.
Sementara ibu almarhum, Nuzmatun Malina yang datang ke Polda Jateng dengan mengenakan baju serba hijau, enggan berbicara karena masih shock setelah kehilangan anak dan suaminya dalam waktu dekat. Kondisi Malina yang masih gemetar menjadi salah satu alasan laporan baru masuk beberapa minggu setelah kejadian.
Kombes Artanto, Kepala Departemen Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Jateng, mengatakan ibu almarhum datang untuk melaporkan kematian anaknya. Artanto belum bisa memastikan apakah laporan tersebut terkait langsung dengan kasus pelecehan atau pengaduan lainnya, namun laporan tersebut menjadi landasan bagi polisi untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut.
“Kami akan menganalisis dan merangkum hasil laporan tersebut. “Aduan ini sudah kami terima dan akan kami kaji,” kata Artanto. (Didiet Cordiaz/Semarang)
Halaman berikutnya
“Keluarga sudah beberapa kali melaporkan hal ini sejak tahun 2022, namun belum ada tanggapan dari pihak kampus,” kata Misyal.